Putus Sekolah

Putus Sekolah

Putus Sekolah di Era Digital: Ironi Abad 21 – Putus Sekolah di Era Digital: Ironi Abad 21

Kita hidup di era digital, di mana informasi mengalir tanpa batas, akses pendidikan bisa dilakukan dari genggaman tangan, dan teknologi menawarkan berbagai mahjong slot kemudahan untuk belajar apa pun, kapan pun, di mana pun. Namun, di tengah semua kemajuan itu, ironi besar masih terjadi: jutaan anak dan remaja di dunia, termasuk di Indonesia, justru mengalami putus sekolah.

Bagaimana mungkin, di zaman serba canggih ini, pendidikan yang seharusnya semakin inklusif dan mudah diakses, justru masih menyisakan angka yang memprihatinkan?

Realitas yang Kontras

Era digital menjanjikan revolusi dalam dunia pendidikan. Platform belajar daring, kelas virtual, YouTube edukatif, hingga aplikasi bimbingan belajar menjadi wajah baru pendidikan modern. Namun di balik layar laptop dan smartphone, terdapat realitas pahit yang tak bisa disangkal: tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap teknologi dan pendidikan.

Data dari UNICEF dan UNESCO menunjukkan bahwa puluhan juta anak di negara berkembang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan banyak yang terhenti sejak tingkat dasar. Di Indonesia, meskipun akses pendidikan semakin membaik, masih terdapat kasus di berbagai daerah—terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Penyebab Putus Sekolah: Bukan Sekadar Masalah Ekonomi

Sering kali kita menganggap penyebab utama adalah kemiskinan. Memang benar, ekonomi keluarga yang lemah membuat banyak anak harus memilih bekerja daripada gates of olympus belajar. Namun faktanya, penyebabnya jauh lebih kompleks, antara lain:

  1. Akses internet dan perangkat yang tidak merata
    Di masa pandemi, sistem belajar daring menjadi solusi. Tapi bagi anak-anak yang tinggal di daerah terpencil, ini justru menjadi bencana. Tidak adanya sinyal, perangkat yang tidak memadai, atau bahkan listrik yang belum stabil, membuat mereka tertinggal dan akhirnya menyerah.
  2. Kurangnya motivasi dan dukungan keluarga
    Banyak anak kehilangan semangat karena tidak mendapat dukungan moral atau pendidikan dianggap tidak penting oleh lingkungan sekitarnya.
  3. Pernikahan dini dan tekanan sosial
    Di beberapa wilayah, anak perempuan lebih berisiko karena budaya patriarki, tekanan untuk menikah muda, atau dianggap lebih baik membantu pekerjaan rumah tangga.
  4. Kesenjangan kualitas pendidikan
    Sekolah yang tidak berkualitas, guru yang kurang terlatih, serta fasilitas yang minim membuat banyak slot bonus 100 siswa merasa sekolah tidak memberikan nilai tambah bagi masa depan mereka.

Teknologi: Solusi atau Justru Pemisah Baru?

Ironisnya, teknologi yang seharusnya menjadi jembatan justru menciptakan jurang baru—jurang digital. Anak-anak di kota besar dengan gawai terbaru dan internet cepat bisa mengakses kelas online terbaik, belajar coding sejak dini, hingga mengikuti kelas internasional. Sementara itu, di pelosok negeri, masih ada siswa yang harus naik bukit untuk mencari sinyal agar bisa mengerjakan tugas dari guru.

Digitalisasi tanpa pemerataan hanya akan melanggengkan ketimpangan. Kesenjangan digital adalah bentuk baru dari ketidakadilan pendidikan.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Mengatasi di era digital memerlukan pendekatan multidimensi. Beberapa hal yang bisa (dan harus) dilakukan:

  • Pemerataan akses internet dan perangkat digital
    Pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama untuk menyediakan jaringan internet di daerah pelosok, serta subsidi perangkat belajar untuk keluarga kurang mampu.
  • Peningkatan kualitas guru dan metode belajar
    Guru harus dibekali kemampuan mengajar berbasis teknologi dan pendekatan yang lebih humanis agar siswa tetap termotivasi.
  • Kampanye kesadaran pentingnya pendidikan
    Pendidikan harus dipahami sebagai hak, bukan beban. Perlu pendekatan budaya dan komunitas untuk menanamkan kesadaran ini.
  • Program pendidikan fleksibel dan vokasional
    Bagi anak yang sudah terlanjur, sistem harus memberikan jalur alternatif: pendidikan nonformal, keterampilan vokasional, dan pembelajaran berbasis proyek.

Penutup: Jangan Biarkan Anak Menjadi Korban Kemajuan

Putus sekolah di era digital adalah paradoks menyakitkan. Di saat dunia berlomba membangun sekolah pintar, ruang kelas metaverse, dan kurikulum AI, masih ada anak-anak yang bahkan tak bisa membaca karena harus membantu orang tuanya mencari nafkah.

Kemajuan teknologi tidak akan berarti jika hanya bisa dinikmati segelintir orang. Pendidikan adalah hak setiap anak, tanpa pengecualian.

Sudah saatnya kita memastikan bahwa revolusi digital juga membawa revolusi keadilan dalam pendidikan. Jangan biarkan siapa pun tertinggal, apalagi di abad 21 ini.